"Janganlah engkau berkata: "Aku akan membalas kejahatan," nantikanlah TUHAN, Ia akan menyelamatkan engkau." (Amsal 20:22).
Rumah bagi rongga jiwa. Berkah dalem, mah, mbak..
Beruntunglah kita yang masih mempunyai keluarga lengkap. Ibu bapak. Ada untuk mencintai dan melindungi kita hingga kelak dewasa.
Ketika saya mengunjungi panti, aku melihat bahwa aku jauh lebih beruntung daripada mereka. Jangankan kasih sayang orangtua, wajah orangtua mereka sendiripun mereka tidak tahu.
Aku besar di keluarga Katholik. Bapak menjadi pengikut Kristus paling terakhir di keluargaku, ketika aku duduk di kelas 4 SD.
Tuhan memberikanku ibu seorang pejuang. Tanpa kenal lelah, ibu menopang beban keluarga. Selama aku bayi malah. Bapak? Ah sudahlah toh semua sudah berlalu lebur bersama detikan waktu.
Kami memanggilnya mamandut. Mama endut. Porsi tubuhnya sedikit gempal. Dulu. Akhir akhir ini berat badannya semakin berkurang. Mamaku mengurus. Kenapa ya ma?
Tak hanya membesarkan aku dan kakakku. Sebagai anak sulung di keluarganya, ia bertanggung jawab pada ke 8 adikknya.
-Sebentar aku ingin mengurutkan ke8 bulik dan paklikku. Mas Imam, Mas Agus, Mbak Nung, Mas Bambang, Mbak Sur, Mas Ari, Mas Dani dan bungsu Mbak Ela.-
Wanita pejuangku itu sangat menjadi inspiratif. Dalam keputusasaan karena masalah finansial yang membelitnya, ia berhasil meraih gelar S1 sospolnya di Univ Kartika Bangsa. Di tengah tengah kesibukan, dan pecahnya konsentrasi serta fokus belajar, ibuku mendahuluiku menjadi seorang sarjana. Saat itu aku masih ada di tahun pertamaku kuliah.
Bangganya entah harus memakai kalimat yang mana lagi.
Ia berhasil mensarjanakan ke dua adikknya, Mas Dani dan Mbak Ela. Sekaligus sedang menguliahkan aku di UGM dan kakakku di UNY.
Beratnya beban ekonomi dlm keluarga tak menjadi soal. Bohong kalau aku berkata bahwa ia tidak pernah mengeluh, dan pesimis bisakah ia menyelesaikan semuanya itu sendirian.
Mamaku layaknya wanita. Yang merasa selalu mempunyai keterbatasan. Terutama fisik. Satu kali pernah aku menemukannya menggigil tak karuan. Keringat dingin, dan cathuken tanpa henti. Akibat yang terlampau capek, HB daranhnya turun drop. Aku menyelimutinya dengan sprei kasur yang ada di tumpukan setrikaan. Suasana itu masih terbayang jelas tanpa sedikitpun meremang..
Ia bekerja sebagai PNS. Yang paling akhir dia ditempatkan di Pemberdayaan Perempuan, kantornya di bilangan Kampung Badran Jogja.
Mama adalah wanita yang sangat rapi. Miss bersih bersih. Tak akan kau dapati debu sedikitpun di rumahku. Ia tidak memakai pembantu untuk membersihkan rumahnya. Mencuci dan menyetrika pakaian pakaian kami minus bapak. Semua dilakukan dengan tangan kosong. Ada mesin cuci tapi dia lebih percaya dengan tangannya sendiri. Ia akan marah dan ngomel ketika tahu rumah kotor dan berantakan. Walau kemudian ia juga akan merapikan rumah sendirian. Ia tak akan bisa tidur di tempat yang tidak rapi. Tak akan bisa pipis dan BAB jika kamar mandi kotor. Benar. Ia benar benar orang yang sangat resikan.
- Lamat lamat aku menyadari, warisan sifatnya yang sedemikian bersih dan rapih itu menurun ke kami. Terlebih aku -
...
Mengapa aku menulis tentang mama ya? Aku merindukannya. Dia yang selalu ada dalam barisan paling awal di jam doaku. Selalu aku berdoa , "Tuhan terimakasih sudah selalu menjaganya," atau "Ah Tuhan, terimakasih Engkau begitu mencibtainya," atau "Tuhan, terimakasih aku dianugerahi ibu yang luar biasa."
Iya. Tak sekalipun aku berdoa meminta. Aku sangat yakin dan percaya Tuhan telah memberi lebih dari apa yang akan aku minta. Aku hanya perlu selalu berterimakasih. Tuhan ada untuk menjaganya untukku.
Aku lupa sudah berapa minggu aku kembali mendoakan mama dalam ujub Novena Tiga Salam Mariaku, dalam hening aku berkata dalam tiap tiap jam 3 pagiku, "Bunda aku menyerahkan kelembutan hati ibuku padamu. Aku tau Engkau bisa melembutkan hatinya menjadi lembut seperti hatimu."
Lagi lagi aku tak meminta. Aku tau ibuku diberkati dengan teramat luar biasa. Aku merindukannya. Sebulan ini kami sedang ada masalah. Masalah klise dan klasik. Tak juga perlu aku tulis. Masalah tentang penerimaan masa lalu. Aku tau itu sungguh berat baginya. Karena aku menyayangi dialah aku tak berani menuntut dan mengadilinya dengan jutaan harapan kecilku. Tidak ma. Tidak akan.
Pilihlah yang membuatmu bahagia. Aku dan Mbak Tya ada. Kami berdua ada, menerima sikapmu apapun keadaannya. Kami tau kami tidak mengalami masa masa pahit sepertimu dulu. Egoisnya kami menuntutmu memaafkan mereka yang telah menyakiti dan membuat lubang besar di masa dulumu. Aku mengerti ma. Aku tau.
Tapi ma. Kami berdua sudah dewasa untuk bisa memaafkan mereka yang juga sudah ikut menyakiti kami. Jangan pula kami dituntut untuk membenci mereka. Jangan ma.
Benci dan dendam tidak diwariskan.
Kami tidak mau menyimpan dendam dan memupuk kebencian seperti yang bertahun tahun telah mama lakukan. Kami mau memaafkan dan melupakan. Kami mau terus bergerak maju berfikir bagaimana menggenapi cerita kami yang penuh cekungan itu menjadi indah sempurna bagi anak cucu kami nanti. Hanya yang indah dan baik tentang eyang kakung dan putrinya yang perlu mereka tau. Segala pahit dan getir cukup aku dan kakak perempuanku yang tau.
Mama maaf jika kami tak sepaham. Jika sekarang kita bersebrangan. Maaf ma..
"Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu." (Tetapi jika kamu tidak mengampuni, maka Bapamu yang di sorga juga tidak akan mengampuni kesalahan-kesalahanmu.) Markus 11:25-26
Jakarta, sebulan genapnya telah kau hapus kontak bbmku dan mbak Tya.
Kami yang menyayangimu dan akan selalu terus begitu,
Tya-Kiki
*RI*

Tidak ada komentar:
Posting Komentar