Senin, 25 Agustus 2014

THROWBACK

-Bukan senjata tajam yang melukaimu, melainkan masa lalu.-


Melihat lagi ke belakang. Mereview diri. Apakah itu prestasi ataukah itu regresi. Perlu dilakukan untuk bermawas diri. Bercermin karena yang tau tentang diri kita adalah ya diri kita sendiri. Pahami siapa sebenar benarnya diri kita. Cari tau apa yang menjadi kelemahan dan apa yang menjadi celah bagi setan untuk masuk dan menggoda kita.

Kadang kita lupa. Banyak hal yang rawan yang menggoda dan menggiurkan. Yang merupakan gerbang lebar bagi setan untuk meraja dan menjajah hati serta jiwa dengan rongrongan. Nafsu. Entah nafsu untuk berharta, nafsu badan, nafsu kekuasaan. Dan banyak lagi.

Mereka dibuat seperti anggur. Manis memabukkan. Membikin ketagihan.

Manusia adalah mahkluk yang riskan. Rawan akan godaan dan tipu daya. Semakin kita berada di pusaran itu semakin kecil kesempatan kita untuk keluar dari sana.

Kembali ke masa lalu. Bkn untuk terkungkung di dalamnya. Namun untuk berkaca. Apa saja yang telah saya lakukan. Baikkah? Mana sajakah yang baik? Atau burukkah? Mengapa bisa sampai hati berbuat yang buruk?

Timbulkan pertanyaan. Selalu munculkan apa yang membuatmu heran mengapa di masa lalu bisa tertulis kejadian itu.

Bercermin. Menelanjangi diri. Demi masa depan yang lebih baik. Demi pribadi yang lebih matang dan dewasa.

Kenapa harus move on jika masa lalu bisa direka ulang untuk sebuah pembelajaran? *RI*

Melangkah Dengan Iman

-Jika kamu memiliki iman, kamu tak akan pernah berjalan sendirian-

Mudah mengatakan kata kata, tapi susah mengaplikasikannya. Hidup di dunia adalah tantangan. Kita ditantang untuk teguh pada prinsip sendiri atau ikut arus mana yg lebih menguntungkan. Jika kemudian jalan yg kita pilih salah, dengan enak kita menyalahkan Tuhan. Menganggap Tuhan sedang mempermainkan hidup kita. Mencobai kita. Padahal belum tentu.

Kita tau bahwa rancangan Tuhan itu indah untuk hidup kita. Bahkan melebihi segala harapan dan mimpi mimpi kita. Namun, entah pada kenyataannya kita selalu saja memaksa bahkan memonopoli kehendak Tuhan.

Kalau terkabul, luar biasa kita kemudian bahagia, namun jika tak terjadi dalam hidup nyata, hidup kita malahan menjadi hampa. Menganggap Tuhan tak sayang. Menganggap Tuhan tak adil. Tak fair. Padahal permasalahan yg sebenarnya ada pada diri kita yang belum siap untuk menerima.

Saya tegaskan. Hidup adalah tentang kesiapan. Siap atau tidak tergantung iman.

Kok bisa?

Iman adalah pedoman. Iman ikut menentukan  langkah kita. Iman membimbing kita. Dengan iman kita memiliki keyakinan. Iman mendewasakan. Iman ada untuk senantiasa menemani kita.

Mereka yang putus asa adalah mereka dengan iman yang kurang.

Saya masih sering putus asa. Dengan dewasa saya harus mengakui, mungkin saya harus menggali iman saya lbh dalam.

Iya. Pengakuan adalah fase awal kita disebut beriman. Akuilah diri kita seperti apa. Terima karakter pribadi.

Saya bisa. Kamu bisa. Kita semua bisa. Percaya, Tuhan membuat kita semua beriman. Aplikasikan. Dan lihat, betapa dunia berubah lebih manis walau jalanan terjal menanjak dan berbatu. *RI*

Senin, 11 Agustus 2014

Biang Teler

Sebuah kisah dari negeri antah berantah...

Cerita ini lucu sekali. Dengan muatan moral yang saya pikir cukup menarik untuk di share sama teman teman semua.

Mari membaca :))
***

Tinggal seorang anak kecil dengan ibundanya di sebuah desa. Nama anak kecil itu Biang Teler -entah kenapa dinamakan Biang Teler-.

Mereka berdua hidup sangat miskin. Makanpun mereka kesulitan. Pekerjaan sang ibu tak cukup mengatasi kesusahan hidup mereka berdua. Makan sehari sekali sudah prestasi. Saking peliknya kondisi finansial mereka, sang ibu dan Biang Teler hanya bisa pasrah pada kehendak yang Kuasa tanpa berani mengeluh. Doa dan kerja terus saja diupayakan agar perekonomian membaik. Mereka terus percaya tangan Tuhan akan membaikkan kehidupan. Mereka percaya Tuhan sedang menyuruhNya menunggu.

Satu ketika sang ibu mendengar saudara jauhnya sedang mengadakan hajatan. Sang ibu berpikir bahwa mngkn ini rejekinya dan anaknya. Bisa makan enak. Dan karuan waktu nanti pulang bisa membungkus makanan sisa. Lumayan kan bisa untuk makan 2, 3 bahkan 4 hari.

Walau jauh, sang ibu dan Biang Teler  semangat pergi ke rumah saudara. Berjalan jauh. Perlu waktu seharian penuh mencapai desa saudaranya.

Saudara jauh sang ibu ini adalah orang kaya. Keluarga terpandang di desanya. Rumahnya megrong megrong. Pesta diadakan 7 hari 7 malam. Tak ada alasan khusus. Hanya ingin menghabiskan uang saja. Beda jauh dengan sang ibu dan Biang Teler. Makan saja susah.
Ah dunia.

Saat sang ibu dan biang teler sampai ke rumah saudara jauh, kondisi mereka sudah kepayahan. Perut keroncongan. Kaki bergetar. Badan melemah belum ada asupan.
Mereka mempercepat langkah menemui sang saudara jauh.

Seperti sudah bisa ditebak, sang saudara jauh menolak kedatangan sang ibu dan Biang Teler. Diusirlah mereka. Saudara jauh malu. Lebih penting gengsi dan prestis dibandingkan saudara miskin.

Sakit hati sang ibu. Biang Teler menangis kelaparan. Mereka berdua berjalan pulang. Gagal mendapat makanan. Gagal bersua dg kerabat. Gagal.

Hujan disertai angin melanda. Sang ibu dan Biang Teler berteduh di sebuah pondok tak berpenghuni. Kotor. Namun bisa untuk berteduh. Biang Teler pucat pasi. Lemah. Kelaparan. Kelelahan. Sang Ibu berkata padanya, "Anakku tidurlah dulu. Akan kurebus batu itu. Jika tanak, kita akan makan bersama. Percayalah Tuhan membela kita."
Biang Teler percaya. Sang ibu mengambil sebuah batu. Ia membuat api dengan cara tempo dulu. Dan menyalalah api. Ia merebus batu dengan kuali yg ada di dekat situ. Ditunggui batu itu sampai empuk kemudian akan mereka makan. Lama sekali. Sampai mereka mengantuk. Merekapun tertidur berharap nanti kalau bangun batu tersebut menjadi empuk dan bisa dimakan.

Tak lama kemudian, air rebusan batu itu mendidih. Bukannya empuk, batu itu kemudian meledak.

Anehnya ledakan batu itu membuat pondok itu menjadi sebuah istana. Dilengkapi dengan harta kekayaan yang luar biasa. Dayang dayang dan punggawa  yang tak terbayang banyaknya. Istana Biang Teler, kemudian mereka menjulukinya.

Kabar itu sampai juga pada saudara jauh. Ia mendatanginya untuk membuktikan kebenaran itu. Maka berangkatlah dan ditemui istana itu. Terkejut dan irilah dia.

Penasaran, saudara jauh bertanya. Sang ibu menjelaskan bahwa setelah dia diusir dia kembali pulang ke rumah dengan kelelahan dan kelaparan yg teramat sangat. Saat hujan, mereka tak sengajamenemukan sebuah pondok untuk berteduh. Saat lapar anaknya tak tertahan lagi, ia merebus batu kemudian tertidur. Kemudian batu tersebut meledak. Dan jadilah istana dg dayang dayang.

Saudara jauh paham. Kemudiam ia mencoba merekonstruksikan apa yg dialami sang ibu dan Biang Teler malam itu. Ia minta diusir dg tdk diberi makan. Sang ibu keberatan namun karena dipaksa akhirny ia mengusir saudara jauh demi permintaannya.

Saudara jauhpun pergi dan kemudian dlm lapar ia mencari cari pondok. Setelah menemukannya, ia mencari batu untuk direbus. Kemudian ditunggu sampai tertidur. Tak lama batu meledak. Dan bukannya menjadi istana megah, pondok itu malahan terbakar. Saudara jauhpun menangis dam kembali ke rumah sang ibu dan Biang Teler sembari minta maaf. *RI*

Jumat, 08 Agustus 2014

Pak Kemarin dan Ibu Besok

Dongeng ini tercipta krn membaca salah satu rubrik di majalah Bobo. Dongeng anak. Maafkan saya lupa siapa penulisnya dan dimuat di edisi berapa.
Untuk kepentingan mendongeng sebelum keponakan saya bobok, ijinkan saya menggubahnya. Saya mengambil saripati dongeng tsb. Demikian tanpa mengurangi rasa hormat saya kpd penulis arketipnya.
Mengingat bahasa lisan itu lebih fleksibel dari bahasa tulis, maka untuk menuliskannya kembali perkenankan saya memberi sentuhan ala saya.
Selamat membaca.
***
Alkisah,
di sebuah desa hiduplah sepasang suami istri. Pak Kemarin dan Ibu Besok namanya. Penduduk desa itu menamai mereka berdua demikian krn ketika ditanyai kapan mereka akan membayar hutang, akan selalu dijawab:
Pak Kemarin : Lhoh kan kemarin istri saya selalu bilang..
Bu Besok       : Besoook...
Selalu seperti itu. Berulang ulang. Penduduk desa jengah. Hutang pk Kemarin dan Bu Besok menumpuk. Tak ada yang dikembalikan. Penduduk desa bosan karena selalu dijanjikan besok besok dan besok. Sedangkan besok yang mana tidak pernah jelas.
Penduduk desa kemudian bermufakat. Mereka sepakat untuk memberi pelajaran kepada Pak Kemarin dan Bu Besok.
Jadi, jika kedua pasutri tua itu datang mengetuk pintu rumah untuk berhutang dan meminjam barang, penduduk desa akan menjawab seperti yang biasa dikatakan oleh Pak Kemarin dan Bu Besok.
Di suatu pagi yang cerah, Ibu Besok menyadari bahwa persediaan berasnya mulai menipis. Wah kalau habis, mau makan apa mereka nanti.
Di lain tempat Pak Kemarin melihat ayam ayamnya. Saat melihat ayamnya mulai kelaparan dia mendapati dedak yang juga mulai menipis. Gawat, batin pak Kemarin. Kalau habis ayam ayamnya akan mati.
Pak Kemarin dan Bu Besok bertemu di lincak depan rumah. Mereka harus membeli beras dan dedak. Namun mereka juga tidak mempunyai uang. Sedang hutang masih menumpuk di seluruh tetangga desa.
Mereka berpikir. Jalan satu satunya hanyalah berhutang lagi. Tidak ada lainnya lagi.
Esok paginya mereka pergi ke tetangga A. Meminjam uang untuk membeli beras dan dedak.
Para tetangga di desa sepakat bahwa mereka harus memberi pelajaran pada pak Kemarin dan Ibu Besok untuk tidak memberi pinjaman karena pinjaman yang lainpun belum dikembalikan.
Pak Kemarin berkata pada tetangga A, "Pinjami kami sedikit uang. Habis sudah beras dan dedak. Beri kami belas kasihanmu hai tetangga."
Tetangga A menjawab. "oh oke. Besok ya."
Berjalan lagi mereka menuju tetangga B. Berkata Bu Besok, " Pinjami kami sedikit uang. Habis sudah beras dan dedak. Beri kami belas kasihanmu hai tetangga."
Tetangga B menjawab. "Baiklah. Besok ya."
Begitu seterusnya sampai ke tetangga terujung di desa itu.
Ah ya sudah mungkin memang blm rejeki di hari ini mendapat pinjaman. Sudahlah. Kita datang lagi besok. Kan mereka sendiri yg bilang besok. Kata Pak Kemarin mencoba melegakan dirinya sendiri dan istrinya.
Keesokan harinya datang Pak Kemarin dan Ibu Besok ke tetangga A, "Saya datang menagih janji. Katamu besok engkau memberi kami pinjaman. Beras dan dedak hampir habis."
Berkata tetangga A, "Kan kemarin saya sudah bilang, besok ya."
"Tapi kan itu berarti sekarang?" Kata pak Kemarin.
"Sekarang itu hari ini. Besok itu setelah hari ini. Besok ya besok" kata tetangga A kaku.
Tetangga B pun menjawab serupa. "Kan kemarin saya sudah bilang. Besok saja ya."
Tetangga lainpun sama halnya. Tak ada pinjaman uang untuk membeli beras dan dedak.
Pak Kemarin dan Bu Besok menyesal. Mereka sadar peluru yang mereka tembakkan berbalik kembali kepada mereka. Apa mau dikata hari besok tak kunjung tiba. Ayam ayam pak Kemarin dan Bu Besok banyak yang sudah mati kelaparan. Pak Kemarin dan Bu Besokpun melemah menahan lapar.
Mereka menangis di tengah tengah desa. Semua orang melihat pasutri senja itu bertelut, menangis dan berjanji akan mengembalikan hutang2 mereka sedikit sedikit.
Berjanji untuk menepati omongan dan perjanjian.
Merasakan kesungguhan penyesalan kedua pasutri senja itu. Akhirnya pak Kemarin dan Bu Besokpun dibantu oleh para tetangga dengan catatan tidak ada pengulangan kejadian serupa lagi.
***
Demikian dongeng Pak Kemarin dam Bu Besok. Mengulur ulur waktu. Mudah berjanji tapi tak ditepati. Ah menyebalkan sekali jika bertemu pribadi yg demikian.
Namun review diri sendiri, apakah masih ada jejak watak Pak Kemarin dan Bu Besok dalam ego kita? Semoga jangan. *RI*