9 Juli 2014. Negri ini bermetamorfosa. Ingat jaman dulu, pemerintahan yang sama mampu berkuasa di dalam sebuah negara demokrasi.
Aneh tapi nyata. Saat para pemuda negri menyatukan suara dan meneriakkan riak reformasi, negri ini berubah lebih dewasa. Walau kemudian perubahan itu hanya sedikit pengaruhnya, namun bukankah kemajuan berawal dari hal yang kecil.
Bukankah sedikit sedikit lama lama akan menjadi bukit.
Sejak 1998, negri bergejolak. Demokrasi meraung meminta realita dalam praktik kenegaraan yang nyata. Yang selama ini diam dan tenang, kemudian berubah menjadi lebih berani dan beringas. Kekuatan rakyat menjadi nyata. Riil. Bersatu menggulingkan rezim yang telah berlangsung puluhan tahun. Rezim yang menguntungkan beberapa oknum. Rezim yang kemudian dianggap racun dalam tubuh NKRI. Rezim orde baru. Pemerintahan waktu itu terkenal sebagai pemerintahan yang kotor. Berkutat di penyakit korupsi - kolusi dan nepotisme. Itu itu saja namun berbahaya karena sudah mengakar dan membudaya.
Jika kini rakyat menjadi lebih ekspresif, yang demikian adalah wajar. Bagaimana tidak, setelah sekian lamanya mulut dan idealisme tersumpal, akhirnya tiba juga kesempatan untuk bersuara.
Menyuarakan aspirasi dan kedaulatan.
Rakyat bahkan tak segan untuk menjerit. Rakyat tak ragu untuk menghujat pemimpinnya yang bekerja asal-asalan. Rakyat tak takut-takut untuk nyinyir jika pemerintah terbukti tak becus memimpin negri. Evaluasi terhadap pemerintahan kemudian bersikap terbuka dan tanpa tedheng aling aling lagi.
Jika dulu bersuara sedikit saja, kemudian dipaksa untuk diam bahkan tak sedikit di antaranya yang dihilangkan, maka sekarang, semakin dilarang bersuara, maka ocehan yang akan diterimapun semakin lantang.
Rakyat Indonesia sudah terlampau pintar untuk diakal-akali. Rakyat sudah jengah untuk dibodoh-bodohi. Rakyat bosan selalu dituntut diam dan iya iya saja, sedang para wakil rakyatnya duduk dan bekerja hanya untuk membesarkan lobang setut dan lingkar perut.
Ah ini sudah 2014.
Nanti pagi sampai siang diadakan Pemilu Pilpres. Pemilu kali ini luar biasa heboh. Hanya ada 2 kandidat saja. Nomer satu ada Prabowo dan Hattarajasa. Nomer dua ada Jokowi dan Jusuf Kalla.
Selama masa kampanye, issue yang terburat keluar sangat panas. Suasana politik memanas. Pendukungnyapun ikut memanas. Semua memanas. Entahlah.
Mungkin inilah euphoria pesta 5 tahunan.
Saking semangatnya membela calonnya masing masing, kalau ada yang mempunyai pendapat yang berseberangan sedikit saja langsung naik pitam. Teman bisa jadi lawan. Sepele. Hanya gara gara terlampau mendewakan idola capresnya.
Jiwa persatuan menjadi terpecah menjadi kubu Prabowo dan kubu Jokowi.
Masing masing timses mendiskreditkan tim yang lain. Yang panas semakin panas. Yang semula anyep pun ikutan panas. Banyak fitnah selama kampanye.
Banyak persengkokolan dan akal akalan. Mungki itu sudah biasa. Tapi berharap negri ini bisa dibenahi, disembuhkan dari penyakitnya yang kronis agar sehat dan tidak lagi menjadi bangsa yang krisis.
Ah sekali lagi mungkin ini euphoria yang hanya terjadi pada pesta 5 tahun sekali. Jadi berpestalah. Nikmatilah.
Siapa presiden terpilih masih disimpan oleh semesta. Gunakan hak pilih. Suara kita mahal. Menentukan tampuk estafet kepemimpinan 5 tahun ke depan.
Dalam masa masa seperti ini, terbayang Dia yang memasuki gerbang Yerusalem dengan mengendarai keledai. Dia datang tidak dengan harta dan tahta. Dia datang dengan kasih. Kasih dalam pelayanan.
Bukankah pemimpin itu pelayan?
Mengapa mereka mau berebut kursi utk menjadi seorang pelayan ya? Padahal mereka kebanyakan adalah pengusaha. Berlatar belakang orang kaya. Mengapa sepertinya masih saja kurang puas ya? Aneh. Atau saya saja yang aneh?
Tuhan Yesus pun pernah bersabda seperti yang dicatat di Matius 23: 10-12 bahwa siapa saja yang terbesar harus legawa menjadi pelayan. Karena barangsiapa meninggikan diri dia akan direndahkan, barangsiapa yang merendahkan diri akan ditinggikan di Kerajaan Surga.
Siapapun presiden terpilih, semoga bhakti untuk melayani ada dan tetap menyala. Bukan untuk menjadi penimbun kekayaan. Cukup mempunyai pemimpin matrealistis. Hanya memperhatikan kepentingan golongan semata.
Tuhan masih sayang sama NKRI. Harus optimis. Generasi optimis adalah jiwa Indonesia yg baru di atas keberagaman.
Jaya terus bangsaku. Indonesia, negri yang kaya akan cinta. *RI*