Selasa, 25 Februari 2014

Ruang Selip

"Adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Allah? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.” Galatia 1:10

 
 
Melihat berita, saya semakin merasa bahwa dunia semakin jauh dari Penciptanya. Bahwa orang semakin semena-mena, tak lagi sungkan berbuat jahat dan membuat orang lain menderita.

Apa kita sudah lupa kelak ada neraka?

Kenapa orang bisa tega semena mena? Ataukah mereka lupa mereka juga memiliki saudara? Apa mereka rela saja kalau saudara mereka diperlakukan sama dan serupa?

Korupsi atau mencuri dalam lingkup yang lebih besar lagi sudah menjadi budaya. Atau dibudidayakan?

Membunuh dan menyiksa orang lain menjadi lumrah sebagai pelampiasan amarah. Nyawa manusiapun seperti sudah tak berharga.

Menghina orang di depan massa. Kok sampai hati ya?

Ataukah.. Jangan-jangan aku sudah menjadi salah satu di antaranya? RI*
 
 
 

Mencintai Dengan Apa Adanya

Pernahkah kita menyimpan kekecewaan yang dalam terhadap pasangan kita? Ekspektasi dan harapan yang muluk muluk kepada pasangan kadang seperti dijatuhkan begitu saja oleh fakta.

Kecewa mengapa dia tidak seperti yang kita inginkan? Kecewa kenapa dia tidak menjadi sesosok yang selama ini kita idam-idamkan? Kecewa mengapa kita berharap terlalu tinggi jika akhirnya harus tau kalau jatuh itu menyakitkan?

Dengan menyimpan banyak harapan, dan gambaran-gambaran pasangan ideal menurut keinginan kita, kita sebenarnya mencintai bayangan yang dipantulkan dari cermin-cermin keinginan kita itu. 

Kecewa itu wajar. Tuhan menciptakan tidak ada yang sempurna. Demikian halnya kita. Betapa jauhnya kita dari sempurna, lantas mengapa kita menuntut orang lain untuk sempurna?

Ketika kita sedang dikecewakan, ingat Tuhan yang kadang juga pernah kita kecewakan. Sering malah. Namun betapa Tuhan tak ambil pusing. Ia tetap saja keukeuh mencintai kita. Tanpa syarat.
 
Kita mau ngapain saja, kasih Tuhan tidak berubah. Saat kita ngambek kepadaNya, kaena banyak doa yang tidak diiyakan, 
Saat kita merasa sendiri dan ditinggalkan olehNya, saat kita merasa sangat jauh berlari dan sembunyi dariNya, lihat betapa Tuhan tetap ada dan setia.

Belajarlah dari kasih Tuhan. Menerima apa adanya dan tanpa syarat. Tuhan memberi teladan. Tuhan menjadi sebuah pedoman. Tuhan tidak jijik mendekati mereka yg berpenyakit kusta, miskin dan dianggap hina, karena cinta tak melihat pendar fisik saja. Cinta tumbuh dari hati dan ia berkembang. Tumbuh menjadi keikhlasan. 

Bermimpi boleh tapi jangan lupa untuk bangun lagi ya..

Bukan. Ini bukan semata-mata tentang bagaimana bersyukur tapi bagaimana menerima orang lain dengan apa adanya. Dengan tak ada syarat. Dengan cinta yang luar biasa. Itu pokok-pokoknya. Dan carangnya? Laku kasih dalam sehari-harinya. Demikian sama seperti telah diajarkan Tuhan Yesus. 

Saking cintanya Tuhan pada kita, saat kita tersesat dan menghilangpun kita dicari. Seberapa lama kita menolak dan menyangkalNya, Dia tak pernah kemana-mana.

Sempat aku berpikir mengapa hidup kita selalu saja dipenuhi dengan keinginan untuk menuntu orang sesuai dengan mau kita? Mengapa bukan kita saja yang beradaptasi?

Bisakah kita menyisihkan banyak hal demi sebuah kasih?

Hari ini (lagi lagi) aku belajar tentang bagaimana menerima pasangan. *RI*

 




 

Sabtu, 22 Februari 2014

Terimakasih Tuhan

Tuhan Yesus, selamat pagi

Tuhan terimakasih karena Engkau begitu mencintaiku.

Selalu Engkau beri aku kesempatan dan Engkau buka banyak peluang untuk masa depanku.

Terimakasih Tuhan Engkau menitipkan aku kepada kedua orangtua yang hebat.

Terimakasih Tuhan Engkau membesarkan aku di keluarga dan sahabat yang begitu rekat dan hangat.

Terimakasih Tuhan Engkau selalu mencukupkan dari segala kekurangan.

Terimakasih Tuhan Engkau mencintai aku dengan ikhlas dan tanpa syarat

Terimakasih Tuhan atas pintu pertobatan yang selalu Engkau buka lebar. Dan mercusuar sehingga ketika aku pergi aku tak terlampau jauh dariMU sehingga ketika aku tersesat Engkau menemukanku dan membawaku kembali.

Terimakasih Tuhan bahkan atas segala yang tidak aku pikirkan.

Terimakasih Tuhan hanya itu. Hanya terimakasih. Terimakasih Tuhan. *RI*

 

Kamis, 20 Februari 2014

Tidak Jadi Menangis

 "Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Matius 5: 44)


***
Catatan kecil menjelang senja dengan gumpalan kesedihan yang siap menjelma menjadi air mata.

Aku berjanji tidak akan membawa masalah pribadi pada blog ini. Tapi toh aku masih wanita pasca remaja yang gatal ingin bercerita tentang apa yg dirasakan. 

Aku pinjam sedikit halaman. Bukan, bukan sekedar curhatan. Aku menyusun kesedihanku menjadi percikan permenungan. Perenungan atau permenungan? Ah entahlah. Aku sedang sedih tak harus juga berfikir tentang morfologi kata.
 
 
***
Kenapa ya sangat susah untuk memaafkan kesalahan orang lain? 
Bukankah kita juga tak luput dari kesalahan?

Kenapa ya sangat susah untuk melupakan apa yang telah orang lain lakukan kepada kita?
Apa iya kita manusia sempurna yang tak pernah menyakiti hati sesama?

Kenapa ya waktu berjalan begitu lamban ketika kita terkungkung dalam kebencian?
Padahal banyak hal bisa kita lakukan selain mengundat-undat masa-masa yang telah lalu. 

Kenapa ya sangat mudah untuk berbicara panjang lebar, memberi nasehat dan pesan moral?
Namun pada kenyataannya, telinga kita tertutup untuk mendengarkan nasehat orang lain.

Kenapa ya sepertinya kita tidak membutuhkan waktu lama untuk menghakimi sesama, menuduhkan apa yang mungkin sama sekali tak mereka kerjakan?
Padahal kita saja tidak akan suka diperlakukan yang sama.

Kenapa ya kita selalu merasa benar dan ingin menang sendiri?
Apakah sungguh kita ini benar? apakah sungguh kita sedang berada dalam sebuah pertempuran yang membutuhkan pengakuan siapa yang menjadi pemenang?

Sedemikian hebatkah kita sehingga sepertinya tertutup kemungkinan untuk bersikap rendah hati?

Sebegitu kuatkah ego kita sehingga tak kita lihat banyak yang tersakiti oleh kita?

Atau kita benar benar sudah buta tak bisa melihat pengampunan?
 

***
Aku sedang menatap diriku di kaca. Pantulannya mengingatkan bahwa aku sama seperti manusia lainnya.
Aku bisa sakit. Di sisi lain aku juga bisa menyakiti. 
Aku bisa membuat mereka menangis. Di sisi lain aku juga bisa dibuat menangis.
Aku bisa marah. Di sisi lain aku juga bisa menjadi penyebab orang marah.
Aku bisa dendam kepada orang lain. Di sisi lain orang lain juga bisa menyimpan dendam terhadapku.
Aku sama seperti mereka. Sama. Hati dan perasaannya.

Aku memilih tidak melakukan sesuatu yang aku sendiri tidak ingin orang lain melakukannya terhadapku.

Aku sadar aku manusia rentan. Aku sadar aku membutuhkanmu teman. Aku sadar aku sedang diawasi oleh bala malaikat Tuhan.

Ah apapun itu sudah kuputuskan untuk tak jadi menangis. *RI*

  

Mesiu kebencian

Sebagai wanita, entah saya suka bergosip. Nyinyir terhadap mereka yang kami anggap bergaya dandanan freak, mereka yang mempunyai track record kurang begitu baik. Dan lainnya.

Belum acara infotainment di TV swasta. Menjamur. Saling berlomba mendapatkan info terbaru, terakurat, dan paling hot

Semakin diceritakan, semakin akan menjadi skandal. 

Menarik sekali untuk membicarakan keburukan orang lain. Tanpa pernah kita sadar bahwa kita juga tak sesempurna nabi ataupun dewa dewi.

Kenapa ya?

Mulut rasanya gatal ingin menambah-nambahkan berita. Entah benar entah ngawur. Entahlah. Ringan dan tanpa beban. Meluncur deras nyinyiran dan ketidaksukaan kita. Layaknya hidup kita ini tanpa cela dan noda dosa.

Mulut ini sepertinya dimuati oleh bubuk mesiu. Mudah meledak. 

Mulut tak lagi berfungsi sebagi penutur yang berbudi luhur. 

Mulut tertutup untuk ucap doa baik dan bahagia kpd rekan yang lebih dulu mengalami kesuksesan. 

Mulut terkatup untuk membantu menyebarkan kabar gembira tentang Tuhan dan pertobatan. 

Mulut terkunci rapat rapat sebagai media pengaliran energi positif kepada seluruh anggota tubuh. Yang ada hanya umpatan, makian kekesalan saja. "Mengapa aku jelek?" "Kenapa hidungku pesek?" "Duh item dekil bgt sih ngga kayak si A" Dll.

Teman,
Kalian salah jika mengira aku sedang menulis renungan. Bukan. Untuk masalah ini aku masih belajar. Harus belajar. 

Ini catatan untuk aku pribadi. Saya mau berubah. Pasti. *RI*





Selasa, 18 Februari 2014

Love at the first sight

Manusia itu riskan. Mereka bisa dengan cepat dekat , akrab dan mesra. Namun mereka juga cepat bermusuhan dan saling mencaci dengan alasan yang kiranya tidak masuk akal.
Jangan mudah untuk jatuh cinta. Jangan mudah untuk mengatakan sahabat dan kerabat jika memang baru saja dekat.

Saya pribadi percaya semua butuh waktu. Proses. Periode. Tidak ada yang serta merta. Lama memang tapi demikianlah yang ideal.

Love at the first sight. Hati hati. Rasakan dulu darimana rasa bicara? Jasmani? Atau hati? Jangan mau selalu dibodohi oleh indra penglihatan saja.

Penampakan yang baik belumlah selalu diiringi oleh muatan jiwa yang baik juga. Hati hati. Yg terlihat oleh mata itu maya. Tipu daya. Sementara

Love at the first sight. Saya percaya itu bukan cinta. Itu sebatas kekaguman yang sebentar saja. Akan segera lenyap seiring dengan pemuaian daya pendang kita terhadap objek yang kita kagumi.

Saya selalu saja terpana dengan mereka dengan proses pengenalan yang sebentar, tapi kemudian segera memutuskan untuk menikah, dan sebentar kemudianpun tak sungkan untuk bercerai. Entah itu buang buang waktu atau memang sudah tidak bisa nahan nafsu.

Teman, Bertahanlah dalam fase pengenalan. Selidiki calonmu. Kepo. Kepo itu kadang positif.

Jangan buru buru. Mau kemana? Kita tidak sedang memasuki babak rebutan kan? Kalau semua dengan cepat kita sebut sahabat, lalu hidup kita akan dangkal dan terasa singkat. Cepat dekat, cepat jadi sahabat. Bahkan dengan masa pacaran cepat juga ingin menikah cepat- cepat. Beberapa waktu kemudian lewat, yang tersisa hanya pertikaian dan cinta yg hambar dan sepat.

Hati hati. Jasmani penuh halusinasi.

Menjadi datar dan kaku itu perlu. Perlu untuk melindungi hati dan waktumu. Kalau bukan kamu yg melindungi dirimu sendiri, terus mau siapa lagi?

Nikmati waktumu. Nikmati pencarianmu. Nikmati penyelidikanmu.
Jangan mau mjd org kebanyakan. Selalu menyesal setelah semua kejadian. *RI*





Nukilan Pagi

Yang dirasa tidak adil buat kita tapi percayalah itu yang terbaik yang dirancangkan Tuhan untuk kita.

Kenapa kita bisa bilang tidak adil?Mungkin karena ekspektasi kita terhadap suatu hal berlebihan. Bahaya. Dengan tidak sengaja kita sedang mengintimidasi Tuhan. Meneror Tuhan dengan keinginan pribadi.
Masihkah kurang apa yang telah Tuhan berikan?

Keserakahan akan membunuh orang perlahan lahan. Memang siapa kita sehingga Tuhan harus selalu menuruti apa yang kita mau?

Tidak ada waktu untuk mengeluh dan menyesal. Apalagi iri dengan kesuksesan teman. Tuhan menyediakan. Kita memperjuangkan. Tuhan menyempurnakan.
Eksekusi yang sebenarnya ada pada kita.

Kegagalan sama sekali bukan hambatan. Ketakutan utk gagal di poin yang sama itulah hambatan yang sebenar-benarnya.
Tapi bukankan dengan kegagalan kita belajar tentang perjuangan?

Percayalah bahwa Tuhan mempercayakan kekuatan pada kita. Kuasa doa yang akan membantu menggenapkan.

Ketika kita percaya kita bisa, Tuhan yang membukakan jalan. Itulah yang dinamakan dengan kesempatan. Jangan pernah disia-siakan. Peluang tak akan terulang.
Ketika satu pintu tertutup, yakinlah Tuhan menyediakan sejuta pintu lagi untuk kau buka.
Saya percaya saya bisa. *RI*
 
 
 
 

 

Tuhan Yesuspun Berdoa




Kerjaan yang menumpuk, masalah yang begitu penat, jadwal yang padat, rutinitas yang membosankan kadang membuat jam doa kita menjadi terabaikan. Bahaya dan jelas Tuhan tidak suka.

Bagaimanapun, berdekatan dan berkomunikasi dengan Tuhan penting untuk kita lakukan. Manusia membutuhkan jeda dalam kesibukannya. Memerlukan spasi untuk mengembalikan semangat dan daya juangnya. 

Manusia membutuhkan Tuhan untuk bersandar. Manusia membutuhkan doa untuk sejenak diam dalam hening, menyingkirkan berbagai beban dan persoalan, menyerahkan segala yang diusahakannya. 

Ketakutan dalam diri, kekhawatiran akan masa depan, kecemasan dalam pekerjaan, semua pikiran yang memeras keringat dan menguras waktu hanya bisa diatasi oleh jiwa yang tenang. Dalam ketenangan terdapat kebijaksanaan. Dalam ketenanganlah, manusia bisa berpikir dalam kedewasaan.

Tuhan Yesuspun berdoa. Saat Dia dalam kemanusiaanNya mencoba bernegosiasi dengan BapaNya. Andai saja kehendak BapaNya tak perlu Dia lakukan sedetail detailnya. Andai saja Ia tak perlu sampai berkorban nyawa. Apakah mungkin Ia tak perlu menyerahkan hidupNya. Andai Ia melewati periode ketika Ia disiksa, diundi jubahNya, dimahkotai duri. Difitnahkan segala yang kejam. Andai saja .. Andai saja .. Andaj saja.. 

Tuhan Yesus takut. Tuhan Yesus tau apa yang sebentar lagi akan terjadi. Tuhan Yesus tau Dia harus disiksa dan dibunuh. Tuhan Yesus tau semuanya. Dengan membayangkan masa masa penderaan itu, cukup membuatNya putus asa. 

Tuhan Yesus khawatir. Khawatir bahwa nanti Ia tak sekuat itu. Khawatir bahwa itu mungkin bukan yang terbaik bagiNya. Memang ada dari antara kita yang mau untuk disiksa dan dibunuh secara keji.

Dalam beragam kekalutan pikiranNya, Tuhan Yesus berdoa. Ia bertelut. Ia mengambil ruang helaNya. Ia berkomunikasi dengan BapaNya. Ia bernegosiasi. Tak sepatah permintaan yang Ia katakan. Hanya penyerahan. Pasrah. Menyerahkan kembali kepada yang menjadi kehendak Bapa.

Ingat,
 
“Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." Markus 14:36
Disiksa saja sudah sakit. Apalagi sebelumnya, kita bisa merasa dan meramalkan bahwa sebentar lagi tubuh kita disiksa. Tuhan Yesus dalam rupa manusiaNya, Ia takut. Ia sangat takut.

Tuhan Yesus berdoa. Mencoba memahami kehendak Bapa. Ia berserah. 

Jika saja waktu itu Tuhan Yesus tidak  berdoa, kita tidak akan tau bahwa kita saat ini sudah dimenangkan olehNya. Harga dosa kita sudah dibayar lunas. Penebusan terjadi.

Bahwa ketika Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemani, Ia sudah menjadi pemenang. Yang berarti, kita semua yang percaya dan mengimani karya penebusanNya juga ikut dimenangkan.

Kemenangan terjadi saat kita mau meluanhkan waktu kita yang sejenak untuk berserah dalam doa.

Jika Tuhan Yesus saja berdoa, lalu kenapa kita tidak? *RI*


Minggu, 16 Februari 2014

Tuhan Maha Merancang

"Aku bersyukur kepada-Mu, sebab Engkau telah menjawab aku dan telah menjadi keselamatanku." Mazmur 118:21
 
 
Tuhan berkenan memberikan segala yang kita minta tanpa mengharapkan balasan. KasihNya tanpa pamrih. 

Apa yang kita perlukan? Dia berikan. Apa yang kita sungguh idam-idamkan? Dia jadikan kenyataan. Banyak hal lainnya yang mungkin kadang itu semua tak kita lihat. Hanya gara-gara yang kita perhatikan adalah permintaan yang belum dikabulkan. Sepele namun demikian yg sering terjadi. Pun pada saya. 

Apa yang Tuhan beri seperti tak berarti hanya karena separuh dari mimpi yang belum bisa bereksistensi. Hampir gila kadang kita dibuatnya. Obsesi. Ambisi. Banyak lagi. 

Waktu kita seperti terkuras untuk mengeluh. Terbuang untuk menyesal. Apa yang kita punya seperti tak ada harganya. Separuh waktu dihabiskan untuk kepo. Ingin tau tentang kehidupan orang lain. Ujung-ujungnya membandingkan hidup kita dengan orang lain. Iri, cemburu dan dengki  menjadi atributnya.

Lihat kado Tuhan untuk kita.
Ambillah sebagai contoh hal-hal di sekitar kita yang paling kecil. 

Misalnya. Keluarga yang utuh. Perekonomian yang stabil. Pasangan yang setia. Karier bagus. Dan sebagainya seturut yang pernah terjadi pada hidup kita.

Mereka yang kita rasa lebih sukses dari kita belum tentu sebahagia kita. Apa yang kita pikirkan tentang orang lain belum tentu itulah yang sebenarnya.

Wong kui mung sawang sinawang.

Belajarlah melihat hal yang tak kasat. Hidup itu samar. Yang kita lihat belum tentu tepat. Yang kita duga belum tentu benar.

Ragawi itu halusinasi. Menipu. Cukupkan diri sendiri untuk membanding-bandingkan dengan orang lain.

Apa yang Tuhan beri untuk saya berbeda dg yang Tuhan beri untuk anda. Dan mereka.

Banyak orang merasa tidak bahagia. Bagaimana mereka akan berbahagia jika mereka dibebani oleh pikiran-pikiran dan beban yang mereka ciptakan sendiri? 

Belajarlah menerima segala sesuatunya dengan tangan terbuka dan hati yang andhap asor. Semua terjadi dengan alasan (walau hanya Tuhan saja yang tau alasannya),

Bersyukurlah kasih Tuhan melimpah memenuhi bejana hati kita. *RI*

 
 
 
 
 

Jumat, 14 Februari 2014

Berdoa

 
 
 
 
 
 
 
"Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana." (Markus 1:35)
 
 
Berdoa adalah saat saat paling intim dengan Tuhan. Kita bisa curhat, memohon apapun, bersyukur atas rezeki dan perlindungan, dan sebagainya. Berdoa itu berkomunikasi dengan Tuhan.  Tak ada biaya seperti pulsa. Sungguh pejamkan mata dan ketahuilah Tuhan tak pernah berjaga terlalu jauh dari kita.

Berdoa membuat kita kuat. Berdoa menolong kita menghadapi hal berat. Berdoa menjadikan Tuhan sebagai seorang sahabat. Berdoa membantu membersihkan hati kita dari noda dosa yang berkarat.

Tuhan Yesus saja berdoa. Mengapa kita malas-malasan? 
 
24 jam waktu yang panjang. Butuh sedikit waktu saja untuk sembahyang. Tapi selalu saja ada alasan. Selalu saja ada pembenaran.

Ketika berdoa ditempatkan sebagai rutinitas, maka yang terjadi adalah beban. Berdoa idealnya dikerjakan dengan ikhlas. Tak ada salahnya mendirikan jam doa. Agar kita menjadi disiplin dan lbh taat. 
 
Bagaimana doa yang baik telah Tuhan ajarkan. Yang jelas, doa adalah saat bercakap-cakap dengan Tuhan. Ketika kita bercakap-cakap dengan orang, tidak selalu kita yang berbicara. Kadang kita diam, mendengarkan, menanggapi apa yang dia katakan. Bayangkan bagaimana jika kita terus yang berbicara. Lawan bicara akan bosan. Atau bayangkan saja betapa kesal kita ketika lawan bicara kita ngomong terus tanpa henti. 

Demikian pula Tuhan. Ambil hening. Dengarkan. Kita tdk akan mendengar Dia berbicara pada kita saat kita terlampau sibuk mengumbarkan doa dan harapan kita, Tuhanpun menunggu giliran untuk gantian berbicara. Tuhan diam dan mendengarkan. Menunggu kita untuk menyelesaikan cerita dan diam memperhatikan perkataanNya.

Tuhan tidak memaksa. Tuhan ada sebagai energi. Energi yang menenangkan. Mendamaikan. Energi itu menjelma. Bermetamorfosa dan tinggal di dalam kita. 

Susah hidup damai di tengah perkotaan yang bising. Suara lalu lalang kendaraan nyaring terdengar sampai malam. Ya sudah biarkanlah. 

Kita sendirilah yang harus menciptakan damai itu. Damai datang dari hati. Damai diciptakan. Bukan ditunggu. Damai tercipta oleh pikiran tak berbeban. Meloloskan pikiran dari himpitan beban dan permasalahan harian. 
 
Sama seperti Tuhan Yesus yang menyukai tempat-tempat yang hening untuk berdoa dan bertukarpikiran dengan Bapa di Surga. Hendaknya kita pula mempunyai damai. Damai yang terlahir dari keinginan untuk selalu dekat dan bersatu dengan Tuhan. *RI*

 



Penempaan

(Lukas 19:10) "Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang."
 
 
Erupsi Gunung Sinabung, banjir di beberapa wilayah termasuk Jakarta, dan terakhir erupsi Gunung Kelud yang abunya menghujani banyak kota di sekitarnya.

Tuhan menyapa. Tuhan sedang mengajak bercanda. Tuhan mencari perhatian kita.

Sungguh ini bukan bencana jika kita melihatnya dari sudut pandang iman yang dewasa. Apalah arti bencana ketika kita sudah siap menghadapinya.

Tuhan baru mempertontonkan sedikit dari segala kekuatan. Terlalu lama kita bersikap arogan. Tuhan pun seperti kelelahan. Mengingatkan dan terus mengingatkan. Namun kita berkeras hati dan menjadi kekanak-kanakan. 

Ah Tuhan. Kami terlena. Kami tau kamilah yang tidak benar. Tapi kami sudah terlalu nyaman. Kami lupa. Kami keenakan. Segalanya membuat kami lebih memberati dunia.

Ah Tuhan. Berkenanlah Engkau memaafkan. Kami tak lebih kecil dari debu di perapian. 

Ah Tuhan. Kami, yang berdosa ini, bertelut, memohon pengampunan.

Ini kami, yang lama menghilang. Bagai anak sulung, kami ingin pulang. 

Semoga bukan hanya karena kami sedang dicoba, tapi karena kerinduan kpdMu  yang sedemikian menggila. *RI*






Kamis, 13 Februari 2014

Emosi

"Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku"
(Filipi 4: 13)


Saya (mungkin) salah satu contoh konkret orang yang dikuasai emosi. 

Tanpa saya tahu, emosi dan kemarahan berkembang menggerogoti akal. Pelan, saya tau, emosi jiwa dan kemarahan itu kita sendirilah yang memeliharanya. Kita membiarkannya berkembang. Kita membiarkannya menguasai hari dan perasaan kita. Menyedihkan memang.

Dulu. 
Saya tipikal orang yang memang jarang marah. Saya pribadi introvert. Tertutup. Dan ini bahaya. Saya sangat sadar. Pemaaf tapi juga penyimpan amarah dalam dendam. Semua peristiwa yg tidak enak dalam hidup seakan tersimpan rapi dalam laci-laci kecil di hati saya. Ketika yang tidak enak itu terjadi lagi, laci-laci itu membuka sendiri dan isinya menghambur keluar. Sangat detail. Komplit. Membuat tak ada spasi waktu lagi utk berpikir. Menjadi pendendam itu memuakkan. 

Sekali saya marah, saya akan sangat meledak-ledak. Tak hanya adu mulut dan urat leher, bahkan sering sampai main tangan. Sepertinya ada kepuasan ketika saya berhasil memukul dan menampar mereka yang telah membuat saya meluap. Yang penting hajar dulu. Duh.

Banyak kejadian yang menekan dada. Saya tumbuh di keluarga yang kurang begitu harmonis. Saya kecil membutuhkan sebuah pelampiasan. I'm a drama queen. Demikian kelihatan di depan orang-orang. Selalu tampak kuat dan tanpa masalah hidup yang berat. 

Tapi di balik kamar saya berubah menjadi seperti anak anjing yang kemasukan setan. 

Kala itu saya berprinsip: "Lbh baik sesuatu itu jangan menyakiti hati dan menambah beban pikiran. Sakit hati lama menghilang. Kenapa tidak sakit di badan yang hanya sebentar."  Itu sedikit dari jutaan pemikiran dungu saya kala dulu. 

Ketika ada sedikit masalah di rumah, saya memilih menutup pintu kamar, mengunci diri. Daripada saya menangis lbh baik saya mengalihkan perasaan sakit itu dengan menyiksa diri. Saya akan menampar-nampar pipi sendiri. Membentur-benturkan kepala saya ke tembok atau lantai kamar. Mencubiti badan sendiri. Memaki diri.  Simulasi penyiksaan diri. Mengerikan. Dan anehnya saya masih tetap menangis. Rasa sakit di hati juga ternyata blm menghilang. Padahal saya yakin itu semua bentuk pengalihan. Ah kasihan. Mau saja saya dibodoh-bodohi oleh pikiran setan.

Betapa kala itu hidup saya tak berharga utk saya sendiri.

Saya menyesal. Dan benar, penyesalan selalu datang terlambat. Saat ini, emosi saya lebih stabil. Saya tak  akan membiarkan emosi ikut hadir dan meracau. Mengapa tidak dari dulu ya?  Lagi lagi saya terlambat sadar bahwa Tuhan bekerja dengan caraNya. 

Emosi bergerak dengan cepat. Tak tahu kapan datang dan perginyapun entahlah. 
Emosi ada karena kita memang terlahir sebagai manusia. Tumbuhan tidak mempunyai emosi. Namun, bukankah kita bukan hewan yang mempunyai emosi tapi tidak mempunyai akal? 

Emosi tak menyediakan waktu banyak untuk berpikir. Yang kemudian banyak terjadi adalah kita sering menjadi lepas kontrol dan kendali. 

Apa iya kita akan selalu membiarkan emosi mengambil alih hari kita? 
Bagi kita wanita, apakah PMS yang terjadi rutin setiap bulannya akan selalu dan menjadi satu pembenaran? 
Apa sungguh tidak ada solusi? Apakah berdoa, beribadah, sama sekali tidak membantumu? 

Tuhan ada tepat di samping kita, teman. Saat kita marah, sedih, frustasi, stres dan banyak hal yang sanggup membuat kita drop dan down, ada Dia. Panggil Dia. Ada namaNya. Ada sosokNya di samping kita. Bersandarlah. Menangislah. Katakan segalanya. 

Jujurlah. Akuilah bahwa kita sedang mengalami kepahitan. Ceritakan. Ungkapkan walau dengan terisak. Berdoalah. Tenangkan hatimu. 

Berbagilah kisahmu dengan sahabat atau mereka yang mampu membuatmu nyaman untuk bercerita. Sebagai mahkluk sosial, kita akan selalu membutuhkan orang lain. 

Yang jelas, jangan pendam jangan simpan. Segala sesuatu yang dipendam akan menjadi pupuk bagi emosi dan teman-temannya.

Yang terakhir, maafkanlah mereka yang telah menyakitimu. Maafkan dan segeralah lupakan. Buang laci laci dendam dalam hati. Kosongkan. Dan isilah dengan kebahagiaan. 

Menangislah sebentar untuk senyum yang lebih banyak lagi. 

Menuruti emosi hanya akan membuat kita rugi. Tak akan pernah ada yang lain lagi. 

Rahayulah. Tuhan memberkati. *RI* 

 




Selasa, 11 Februari 2014

Tolong dengarkan aku..

"Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kolose3: 23)

Pernahkah kamu mengalami seperti ini?

Setiap hari, selalu saja melihat orang2 yang dekat dengan kita, bekerja begitu keras. Terlalu fokus akan karier. Wajar. Saat performa kerja kita bagus, maka jabatan dan pendapatan akan naik. Otomatis, gengsi dan prestis ikut terangkat. Manusiawi, ketika kita mengejar dunia dan rupa isinya.

Yang tidak wajar adalah saat kita terlalu ngoyo. Terlalu memaksa badan utk ikut bekerja romusha. Barangkali juga lupa bahwa manusia terdiri dari banyak sel dan jaringan tubuh, panca indra, yang butuh kelegaan biarpun untuk sejenak saja. Penyakit lupa waktu, lupa makan, sampai lupa tidur. Lupa bahwa kita bukan robot. Lupa bahwa kita bukanlah hasil kloningan kuda dan sapi yg harus terus bekerja. Kita manusia. Manusia dengan banyak keterbatasan. Manusia yang harus dimaintaining secara layak dan pantas. 

Banyak yang dengan rela dan ikhlas telah  mengingatkan si pekerja keras agar tetap menjaga kesehatan, tapi tak didengar. Agar mereka menjaga badan, Agar tidak lupa makanlah, minumlah, dan banyak lagi hal sepele yang kadang diremehkan. 

Ayam saja butuh tidur sebentar kemudian berkokok dengan lantang di waktu fajar. Burung tak lupa mencari makan agar bisa tetap terbang dan melenggang.

Betapa sedihnya ketika perhatian kita diacuhkan. Betapa kecewanya kita saat mereka tak mendengarkan apa yang menjadi kekhawatiran kita. Rasa-rasanya itu juga toh untuk kebaikan dia sendiri. 

Apa yang bisa dia kerjakan dalam kondisi  letih dan kelaparan karena lupa makan atau gizi yang cenderung kurang? Apa masih bisa berpikir jika kantung mata semakin menebal menggantung dan berayun? Kalau akhirnya sakit, toh semua jadi kacau dan berantakan.

Demikian Tuhan. 

Kadang kita terlalu sibuk dengan dunia kita. Tak hanya urusan kantor. Pun untuk masalah percintaan yang sanggup menguras urat tawa dan air mata dalam waktu bersamaan, mampu menyita waktu dan perhatian kita.

Kitapun juga diingatkan Tuhan. 

Yah mungkin ketika beberapa hari intim dengan laptop dan laporan keuangan bulanan, dibuatlah mati lampu. Sebentar. Maksud Tuhan memintamu istirahat dan mengingat sudah berapa lama kita tak menyapaNya. Karena kita kurang peka, dipakailah saat saat mati lampu itu untuk bergosip dengan teman sebelah. Ah, lagi lagi Tuhan kehilangan momen denganmu.

Dibuatlah berbagai macam ujian dan cobaan. Satu tujuan, untuk memanggilNya dan kembali mengandalkanNya. Diberilah sakit penyakit. 

Sakit selalu berhasil memaksa si empunya badan untuk beristirahat. Sakit berhasil mengembalikan jam doa kita. Paling tidak kita akan berdoa mohon agar cepat sembuh. Walaupun setelah sembuh, yah entahlah. 

Namun, sakit selalu berhasil membuat kita bertobat dan mohon ampun pada Tuhan karena mengabaikanNya lama. 
Sakit kemudian menjelma menjadi seperti titik temu antara Tuhan dan kita.

Tapi apakah kita harus mengalami sakit penyakit dahulu utk menjedai aktivitas agar sejenak bisa berdoa dan mengingat segala kasihNya? Memang ada yang mau sakit? Sayapun tidak. 

Jadi, jangan sia-siakan peringatan dari Tuhan. Jangan buang-buang waktu untuk tetap keukeuh dan tak tergerak. 
Sesibuk apapun kita, tetaplah ada di lingkaran kuasa Tuhan. Sejenak berdoa. Sejenak menyebut namaNya dalam helah nafas kita. 

Tetap semangat dalam bekerja. Tetap berdoa dalam segala karya dan usaha Pekerjaan yang dimulai dengan memasrahkan semua di dalam nama Yesus, akan selalu berakhir dengan puji Tuhan. 

Ingat, ketika beban tiba tiba berat. Saat sakit diberikan pada kita, alih alih bahwa Tuhan sedang nyinyir. 

Ah, ternyata Tuhan bisa nyinyir. Aku berpikir, mungkin karena sungguh Dia sedang khawatir. *RI*

Manifestasi Kasih

 

 
Tdk perlu menunggu menjadi Bunda Teresa utk tetap tekun dan setia dalam karya pelayanan. Tdk perlu menunggu menjadi Bai Fang Li utk menjadi murah hati.

Sanggupkah?

"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap." (1 Kor 13: 4- 8)


    Mother Teresa of Calcutta


Karena kasihnya kepada Tuhan yg begitu besar, ia terpanggil untuk terlibat secara langsung dengan yang sakit, miskin, lemah, dan terbuang. Siapapun yang membutuhkan, ia layani. Tak peduli suku bangsa, agama, serta warna kulitnya, pria maupun wanita, bayi balita sampai mereka yang telah renta.

Misi kemanusiaannya adalah untuk memanusiakan manusia.

Kasih dan pengabdian Bunda Teressa menjalar kemana-mana. Sampai tua, Bunda Teressa melakukan apa yg menjadi kehendak Bapa.

Kebahagiaan Bunda Teressa adalah dengan hidup seturut kehendak Bapa. Walaupun ia sendiri menderita TBC, dan dalam usia yang mulai lanjut, ia tak berhenti melayani sesamanya yang tersingkir dan tak mendapat tempat di masyarakat. Ia menyatu dengan mereka. Melayani sebagai hamba.

Fisik yang renta dan senja itu bukan penghalang untuk menyebarkan kasih.

Karya pelayanannya yang tulus itu akhirnya diakui oleh dunia pada tahun 1979 dengan diberikannya nobel perdamaian.

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Matius 25 : 40)


   Bai Fang Li
 
Tukang becak yang murah hati. Ia menyumbangkan sebagian besar penghasilannya dari mengayuh becak utk membiayai anak anak yatim piatu miskin pada sebuah yayasan daerah Tianjin.

Bai Fang Li memberi dari kekurangannya. Selama ia hidup, ia mampu menyumbangkan RMB 350.000 (Sama dg 470 juta rupiah).

Kasih Tuhan memampukan Bai Fang Li utk selalu memberi dan memberi. Tak dipikirkannya kebutuhan hidupnya sendiri. Kasih Tuhan dinyatakan padanya sehari hari.

Kasih itu menjalar. Getok tular. Karya Bai Fang Li tak selesai ketika ia meninggal dunia. Kisahnya menginspirasi semua orang di dunia. Termasuk saya. Dan pastinya anda juga. Amin.

"Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya." (Markus 12: 44)

(Diambil dari berbagai sumber) *RI*

Ruang Hela

"Aku tahu, bahwa Engkau sangggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencanaMu yang gagal." (Ayub 42: 2)

Ayub adalah contoh bagi kita semua yang sedang merasa terpuruk, gagal dan tidak berdaya menghadapi penderaan hidup. Ayub mempunyai kekuatan yang luar biasa walau penderitaan dihadapkan padanya bertubi-tubi. Kekuatan itu bernama iman. Iman Ayub mendorongnya untuk tetap berdiri tegar walau cobaaan yang datang seperti tanpa henti.

Petikan firman diatas selalu menjadikan motivasi saya untuk selalu bersyukur di kala saya mengalami kegagalan. Kegagalan tak melulu berkonotasi lemah, menyerah dan kalah. Kegagalan terjadi juga atas seijinNya. Kegagalan bagi saya adalah kece yang tertunda. Percaya saya:))

Ketika saya mengalami kegagalan, saya selalu berbesar hati karena saya mengingat bahwa saya mempunyai Tuhan yang tak pernah gagal.

Kegagalan adalah pelecut bagi hidup kita untuk tidak terlalu lama berdiang dalam keputusasaan.

Saya berpikir, figur Ayub memang disediakan bagi kita manusia lemah. Saat kita gagal, ambilah ruang hela, mengeluhlah dalam doa, dan yakinkan bahwa kegagalan yang kita alami hari ini tidak akan mempengaruhi langkah kita untuk tetap bekerja dan berusaha lebih keras lagi. 

Percaya itu indah. *RI*


 
 
 

Tabik

Teman, aku tidak tau darimana aku harus mengawali alinea ini.

Habitus tidurku saat terbit pagi. Aku hanya mencoba menjadikan fajar menjadi lebih dari berarti. Aku memulai menulis permenungan ini ketika aku tau ada satu hal yang terus memaksa yang tak sanggup aku maknai. Perasaan yang ganjil. Aneh. Asing. Sebuah rasa yang sangat kuat. Rasa yang terus menghebat. Perlahan aku menikmatinya.  Ah iya, rasanya nyaman sekali. Mungkin ini adalah: Rindu. Kerinduanku pada Gustiku.

Aku tidak bisa terlalu aktif di Gereja untuk kegiatan pelayanan dan lain sebagainya. Sungguh aku mau. Tapi ah lagi-lagi masalah waktu. (Baik, aku mengaku ini hanya pembenaranku saja.)

Luar biasa rindu seperti tak ada habisnya. Indah dan membuatku betah. Tapi lagi lagi, Oh Tuhan, siapalah aku ini.(Baik, ini pembenaranku lagi.)

Dari ufuk pagi pertama, ujung tahun 2012, aku  mengawali memanifestasi rasa rindu itu dengan menulis  kutipan Kitab Suci yang aku baca. Hanya satu ayat saja. Tidak terlalu panjang karena otakku yang juga belum cukup mampu untuk memahami ke-Maha-annya. Kemudian kupeluk kutipan tersebut dengan mengambil dari sudut pandangku sendiri sebagai manusia dengan banyak fase hidup yg pastilah tak akan sama dg lainnya.

Masa remaja adalah  fase mencari-cari dan berspekulasi. Setidaknya demikianlah dulu masa remajaku. Pahit, asem, sepet. Mengejutkan aku masih mampu bertahan dari arus pergaulan yang liar dan banal.

Aku membagikannya melalui broadcast message bbm. Setiap pagi aku memberanikan diri.  Aku belajar memantaskan diri.

Sampai  ini, aku masih belajar. Aku menulis renungan ini saat kelopak mata tak sejalan dengan orang lain pada umumnya. 

Tuhan Yesus, untukMu-lah aku mempersembahkan halaman demi halaman dari fajar ke fajar. Aku memuliakanMu dengan caraku Tuhan. Ini aku.  Yang aku tau, aku akan terus menulis.  

MemuliakanMU Tuhan melalui kata dan frasa, melalui alinea dan tanda baca. 

Semoga Engkau berkenan. Ini, secuil persembahan. RI*